Movie

MINGGU PAGI DI VICTORIA PARK

Film dibuka dengan penggalan kisah Mayang yang akan berangkat ke Hongkong untuk mencari Sekar. Sekar sendiri tengah terkena lilitan kredit sehingga rela bekerja menjadi teman minum bapak tua di negeri bekas jajahan Inggris tersebut. Setelahnya, audiens diajak untuk melihat penggalan kehidupan Mayang dan si adik yang complicated, hubungan Mayang dengan anak majikannya yang cute serta kisah para TKI lainnya. Dan judul film ini datang dari kisah para TKI yang terkenal suka berkumpul pada day off di taman yang bernama Victoria Park.

Seolah merasa belum cukup, Minggu Pagi di Victoria Park juga memiliki sideplot terkait kehidupan cinta Mayang dan kawan-kawannya. Movietard merasa cukup terganggu dengan Mayang’s love story, temannya yang berpacaran dengan pria India hingga kehadiran pasangan lesbi karena plot utama yang seharusnya jauh lebih penting justru menjadi blur, membuat audiens tetap bertanya, what’s exactly happen to Sekar at the past? Memang, Amaria dan Wattimena berusaha menyampaikan makna penting dengan kehadiran cerita cinta tersebut, but hey, we have The Ugly Ducking or Pretty Women to do this job.
Lepas dari kekurangan, di mana struggling para TKI dalam Minggu Pagi di Victoria Park kurang diekpos dan lambatnya pace, film ini jelas memiliki nilai plus. In a good way, Minggu Pagi di Victoria Park memberikan pandangan baru anda mengenai alasan para TKI bekerja, sebagian besar memang untuk materi tetapi sebagian kecil memiliki alasan lain. Another positive things, Yadi Sugandi did a wonderful job, Aksan Sjuman has another masterpiece but the tribute is going to Titi Sjuman as our Indonesia Nicole Kidman, she’s the one who made this film worth to watch with her natural act and her ‘surabaya words’ cursed.



I KNOW WHAT YOU DID ON FACEBOOK 

Nama Awi Suryadi sebagai seorang sutradara sempat memperoleh ulasan hangat di beberapa media setelah filmnya Claudia/Jasmine (2008) berhasil mendapatkan pengakuan kualitas dari banyak penonton film Indonesia. Sayangnya, kesuksesan tersebut tidak bertahan lama setelah Awi justru memilih untuk menyutradarai sejumlah film ‘dangkal’ seperti Cintaku Selamanya (2008) dan Selendang Rocker (2009), yang selain gagal mendapatkan pujian secara kualitas, juga ternyata tidak begitu berhasil pada peredaran komersialnya. Kini, dengan membawa tema hubungan di dunia maya yang sedang banyak menjadi banyak perbincangan, Awi kembali merilis sebuah film drama berjudul I Know What You Did On Facebook.
Tema yang dibawakan cukup menarik sebenarnya. Dengan menawarkan konsep yang sedikit banyak akan mengingatkan penonton yang baru saja disuguhkan dengan Chole, Awi berhasil menyampaikan misinya mengenai apa konsekuensi bila seseorang mempermainkan cinta pasangannya. Dengan jajaran pemeran yang cukup apik dalam menghidupkan setiap karakter mereka, I Know What You Did On Facebook sebenarnya adalah sebuah film yang cukup dapat menghibur — khususnya setelah penonton Indonesia dibombardir dengan film-film berkualitas lemah seperti Obama Anak Menteng dan Istri Boongan Namun, film ini sepertinya terlalu berusaha untuk membuat jalan cerita yang sebenarnya simpel menjadi sebuah jalan cerita yang kompleks dengan menambahkan banyak karakter, yang sayangnya malah tidak mendapatkan porsi dan perhatian yang sesuai satu sama lain.
Awalnya, I Know What You Did On Facebook hanya memfokuskan ceritanya pada kisah hubungan antara Luna (Fanny Fabriana) dan Reno (Edo Borne). Setelah sekian tahun menjalin asmara, Luna mulai merasa bahwa Reno bukanlah pasangan yang tepat untuknya. Berbeda dengan dirinya yang telah bekerja dan cenderung bersikap dewasa, Reno malah masih belum dapat menentukan bagaimana nasibnya di masa yang akan datang. Inilah yang nantinya selalu menjadi pokok pertikaian antara pasangan ini: Luna yang cenderung kalem yang merasa bahwa Reno yang impulsif sudah bukan tipe pria yang cocok untuk mendampinginya.
Kemudian dua karakter berikutnya diperkenalkan, pasangan yang bertolak belakang dengan Luna dan Reno: Via (Kimi Jayanti) dan Hedi (Fikri Ramadhan). Via, yang merupakan sahabat Luna semenjak SMP, justru sangat membenci pacarnya yang sangat pasif dan sangat berbeda secara keseluruhan dari dirinya yang bersifat pemberontak. Walhasil, ketika melihat status Facebook milik Luna yang mengeluhkan mengenai Reno, Via mengajukan usul gila: bagaimana bila mereka saling bertukar pasangan. Pada awalnya, Luna menolak ide ini. Namun, lama-kelamaan, setelah dijanjikan bahwa hubungan ini hanyalah sebatas hubungan mesra di Facebook dan tidak di dunia nyata, Luna akhirnya menurut dengan ide gila Via.
Seperti yang bisa ditebak. Via seperti menemukan jodoh sejatinya dengan Reno, sementara Luna bisa sering bertukar pendapat dan pemikiran dengan Hedi. Tidak tahan dengan hanya berhubungan di dunia maya, Via akhirnya bertemu dengan Reno secara langsung. Hubungan Via dan Reno akhirnya berkembang jauh dan mampu membuat Reno melupakan keberadaan Luna. Lama-kelamaan, sikap Reno yang tidak pernah lagi menghubunginya membuat Luna curiga. Ia akhirnya mengetahui bahwa Via telah melanggar perjanjian antara mereka berdua dan telah melampaui batas persahabatan dengan Reno. Luna akhirnya berniat melakukan balas dendam terhadp Via.
Simpel bukan sebenarnya naskah cerita film ini? Tidak. Setelah Luna, Reno, Via dan Hedi, Awi Suryadi, yang juga berperan sebagai penulis naskah bersama Alberthiene Indah dan Adithya Adji, masih menambahkan empat karakter lainnya untuk memperumit jalan cerita I Know What You Did On Facebook. Empat karakter tersebut: Marlene (Imelda Therine), kakak Luna dan suaminya, Aryo (Restu Sinaga) serta Doni (Agastya Kandou), kakak Reno yang gay dan jatuh cinta dengan rekan sekantornya, Erick (Yama Carlos), dihadirkan dalam porsi sebagai karakter pendukung, walaupun memiliki benang merah problema yang sama yaitu memiliki kisah hubungan lewat Facebook.
Kehadiran para karakter tambahan ini justru menjadi bagian terlemah film ini, ketika Awi Suryadi gagal menempatkan porsi penceritaan yang sesuai untuk masing-masing karakter. Kisah Marlene yang mencoba selingkuh dari Aryo dihadirkan terpotong-potong dan ditempatkan hampir hanya sebagai potongan pelengkap semata, yang jika dihilangkan pun tidak akan memberikan banyak pengaruh pada jalan cerita utama. Kisah Doni yang mencintai rekan sekantornya, Erick, sepertinya dihadirkan untuk memberikan nuansa komedi bagi film ini. Beberapa kali, lewat khayalan Doni, film ini menghadirkan adegan komikal yang tujuannya untuk mengundang tawa — walaupun kemungkinan besar akan terasa gagal. Penempatan karakter-karakter tambahan ini, yang ditempatkan dengan porsi minim dan seringkali dihadirkan sebagai sebuah cerita selingan diantara kisah utama, membuat penonton karakter mereka gagal menarik perhatian penonton dan sama sekali tidak berguna.
Dari departemen akting, Fanny Fabriana dan Kimi Jayanti memang pantas memegang kredit utama film ini. Mereka berhasil memainkan peran mereka dengan baik sebagai dua karakter teman yang sangat bertolak belakang. Fanny bermain lancar sebagai Luna yang kalem — dan memang tipe ini sesuai dengan karakter-karakter yang telah dimainkan Fanny sebelumnya. Sementara aktris pendatang baru, Kimi Jayanti, sepertinya akan banyak disebut-sebut dalam beberapa waktu ke depan mengingat perannya sebagai Via sangat menantang dan berhasil ia lakonkan dengan baik. I Know What You Did On Facebook juga kemungkinan besar akan banyak diingat atas adegan perkelahian Luna dan Via yang sangat ‘berdarah’ itu. Sangat memberikan nilai tambah, walau setelah beberapa saat dihadirkan dengan durasi yang ‘terlalu’ panjang, adegan tersebut seperti kehilangan nyawanya.
Satu karakter yang harus diperhatikan penonton adalah karakter Hedi yang diperankan oleh Fikri Ramadhan. Sayang sekali karakter Fikri di sepanjang cerita film ini sangat, sangat minim tergali. Perannya sebagai kekasih Via nyaris hanya terjadi saat karakternya digambarkan berseteru dengan karakter Via. Anehnya, film ini justru memanfaatkan karakternya sebagai sebuah twist di akhir film. Bayangkan saja, setelah hampir selama tiga perempat film karkternya hilang, tiba-tiba karakter Hedi muncul di akhir cerita dan sama sekali tidak berhubungan dengan jalan cerita utama yang telah selesai. Twist yang sedikit memaksa dan tidak berguna.
Satu keunggulan lain yang dapat juga dirasakan di film ini adalah latar musik yang dihasilkan oleh komposer Ricky Lionardi. Entah benar atau tidak, tata musik yang ia hasilkan kedengaran sangat menyerupai dan memiliki jiwa yang sama dengan tata musik yang dihasilkan oleh Thomas Newman untuk dua film yang disutradarai oleh Sam Mendes, American Beauty (2000) dan Revolutionary Road (2009): rapuh, gelap dan dihadirkan dengan sangat intense sehingga turut mempu mempengaruhi emosi di sebuah adegan. Bukan menuduh bahwa tata musik I Know What You Did On Facebook ‘sangat terpengaruh’ oleh dua karya Newman tersebut, namun jika tata musik di film ini adalah benar-benar dihasilkan oleh Ricky Lionardi, dapat dikatakan bahwa tata musik film ini adalah salah satu tata musik paling baik di sinema Indonesia akhir-akhir ini.
Walaupun berhasil menjadi sebuah tontonan yang cukup menghibur, namun beberapa faktor cukup menghalangi untuk memberikan nilai tambah bagi I Know What You Did On Facebook. Para pemerannya (kecuali Fikri Ramadhan) memang berhasil membawakan karakter mereka dengan baik, namun jalan cerita film ini seperti terlalu hiperbolis dengan penambahan anak cerita dan karakter tambahan yang dirasakan sangat tidak terlalu penting untuk ada di sini. Sangat menarik sebenarnya untuk melihat film ini murni dengan hanya kisah cinta Luna-Reno-Via tanpa kehadiran embel-embel masalah pernikahan Marlene dan Aryo yang datar atau kisah cinta Doni dan Erick yang kurang menarik. Namun setidaknya, film ini berhasil untuk berusaha tidak terjebak dalam menghadirkan sebuah sajian dengan kualitas yang murahan. Kualitas yang sayangnya justru menjadi sebuah ‘mainstream‘ di sinema Indonesia akhir-akhir ini.


CIN(T)A  

Gua menemukan beberapa orang di sebuah forum di Internet yang tidak menyukai film cin(T)a karena dianggapnya kosong. Kata kosong sama dengan tidak berisi dan artinya orang tersebut menyukai film yang berisi. Pertanyaannya adalah apa yang dianggap sebagai "isi" dari sebuah film? Sebuah pesan yang ingin disampaikan? Kalau "isi" adalah pesan yang ingin disampaikan, lalu mengapa orang tetap saja menggilai film-film yang tidak memiliki pesan seperti Kill Bill? Untuk pertanyaan mengenai "isi" ini, Sammaria sudah menjawab bahwa dirinya tidak memiliki pesan dalam film ini. Yang Ia lakukan melalui film ini ialah bertanya kepada penonton. Pertanyaannya, menurut gua, adalah : "Apa dan siapa itu Tuhan?"

Film Cin(T)a bercerita tentang pemuda beragama Kristen keturunan Chinesse bernama Cina dan seorang gadis Muslim keturunan Jawa bernama Annisa. Perbedaan lain yang mereka miliki, di luar usia sang pemuda yang lebih muda dari si gadis, adalah sang pemuda pintar dan miskin sementara si gadis bodoh dan kaya. Kesamaan yang mereka miliki adalah mereka berdua warga Indonesia yang idealis yang kuliah di jurusan Teknik Arsitektur. Mereka mulai berhubungan dekat sejak Annisa yang sedang berada di foot spa ternyata akan dilayani oleh Cina yang bekerja di tempat tersebut. Cina yang pernah merusak maket buatan Annisa dan sudah memperbaikinya akhirnya dibayar oleh Annisa untuk membantunya menyelesaikan Tugas Akhir-nya. Cinta pun mulai tumbuh dan mereka berusaha mengerti perbedaan di antara mereka.
Film ini dibuat oleh Sammaria saat dirinya menghadapi berbagai pertanyaan tentang Tuhan. Banyak yang memberinya konsep tentang Tuhan, tapi dirinya tidak bisa menerima begitu saja. Lalu, Ia lontarkanlah pertanyaan tentang Tuhan itu melalui film ini. Gua jadi teringat akan sebuah artikel di blog pribadi Roger Ebert tentang Ramin Bahrani yang dianggapnya "the new great American director". Ramin berkata bahwa ketika kita tidak tahu lagi apa yang harus kita lakukan dalam hidup kita, buatlah film. Hal yang serupa sepertinya juga terjadi pada Sammaria. Setelah resign dari pekerjaannya sebagai arsitektur dan memutuskan untuk menekuni dunia film sebagai sutradara, Ia pun hadir dengan film Cin(T)a sebagai film pertamanya. Korelasi ini gua lihat dalam dialog andalannya yang bisa kita dengar di trailernya :
Annisa : "Kenapa Allah nyiptain kita beda-beda, kalau Allah cuma pengen disembah dengan satu cara?"
Cina : "Makanya, Allah nyiptain cinta,biar yang beda-beda itu bisa jadi satu."
Gua ga ngerasa bahwa apa yang dikatakan oleh Cina itu merupakan jawaban dari pertanyaan Annisa. Itu adalah opininya yang gua yakin juga menjadi opini Sammaria di tengah perjuangan menemukan jawaban akan konsep Tuhan.
Film Cin(T)a memiliki aura film kontemporer dan eksperimental dilihat dari perpindahan dari adegan yang satu ke adegan yang lain dan juga pengemasan beberapa adegan, seperti adegan ciuman yang banyak di-cut. Meskipun bagi beberapa orang penuturan ceritanya agak tersendat, tapi bagi gua penuturan cerita itu dibuat karena untuk menghadirkan konsep "dunia hanya milik berdua" dimana kita hanya melihat Cina dan Annisa, sementara para pemeran lain berada off frame. Konsep ini memang selain untuk menyesuaikan dengan budget, tapi juga menghadirkan sesuatu yang baru untuk gaya penuturan cerita di Indonesia. Untunglah konsep ini dieksekusi dengan baik dalam film ini. Yang gua rasain kurang realistis adalah kenyataan Annisa sebagai aktris film layar lebar yang rasanya saya tidak ingat pernah saya temukan di tahun 2000 yang mana setting waktu dalam film ini. Saat itu, rasanya dunia industri film layar lebar Indonesia tidak sebesar itu.
Gua yakin dengan potensi Sammaria sebagai sutradara yang patut diincar karya-karyanya. Dengan hadirnya film Cin(T)a yang menuai banyak pujian, saya rasa Sammaria akan lebih berani dan lebih dipercaya dalam menyutradarai film dengan budget lebih besar. Beberapa adegan layaknya puisi sudah dihadirkan dalam film Cin(T)a ini. Salah satunya adalah adegan dimana Cina memperhatikan Annisa yang sedang ber-wudhu dengan tatapan yang terpukau. Bayangkan apa yang Sammaria lakukan dengan budget film yang lebih besar. Gua akan tunggu karya Sammaria selanjutnya.


(500) DAYS OF SUMMER

Tom Hansen adalah seorang yang setulusnya percaya dengan yang namanya cinta sejati, cinta pada pandangan pertama, jodoh, dan segala hal romantis konyol bodoh lainnya. Dan karena keyakinannya itulah ia langsung jatuh hati pada pandangan pertama dengan rekan sekerjanya yang baru: Summer Finn. Summer memiliki karakteristik yang hampir berlainan total dengan Tom. Ia adalah gadis independen yang lupa artinya cinta setelah ortunya berpisah ketika dia masih kecil. Tentu saja ideologi mereka yang bertentangan ini membuat keduanya menjadi pasangan merupakan kemungkinan yang kecil. Toh, dengan perjuangan Tom, ia berhasil juga menggaet Summer.
Apakah di sana cerita ini berakhir? Kalau komedi romantis yang biasa, mungkin saja begitu. Tahu kan formula dari komedi romantis yang hampir selalu klise dipakai di setiap film? Cowo ketemu cewe, berantem karena ketidaksamaan ideologi, tapi pada akhirnya mereka menemukan kalau mereka saling mengisi satu sama lain dan akhirnya jadian kembali. Happy ending, penonton keluar dengan senang, dan esok harinya sudah lupa pernah menonton film semacam itu (atau tertukar dengan film sejenis lain yang segudang banyaknya). (500) Days of Summer tidak. Di saat awal film kita sudah ditunjukkan bahwa ternyata Tom sudah putus dengan Summer. Apa gerangan yang terjadi? Nah, melalui film ini kita akan diajak melihat hubungan mereka yang bergerak selama 500 hari, di mana Tom berusaha mencari apa yang salah dengan hubungan mereka.

(500) Days of Summer begitu nyaman diikuti disebabkan oleh ceritanya yang begitu down-to-earth. Tidak ada yang terlalu dilebih-lebihin dalam film ini. Dialog antara Tom dan Summer adalah dialog yang mengalir dengan orisinil tanpa terasa terlalu dibuat-buat. Masalah yang mereka hadapi gua yakin pernah kalian alami bila pernah pacaran. Kisah dalam film ini makin sempurna karena paduan chemistry dari Joseph Gordon-Levitt dan Zooey Deschanel. Keduanya sempurna untuk bagian Tom dan Summer. Tampang culun Joseph membuatnya bisa dipercaya sebagai Tom yang lugu. Di lain pihak Zooey yang usianya sudah 29 tahun tetap saja terlihat awet muda dan manis, toh di balik penampilan itu akting Zooey membuat kita percaya bahwa Summer tidak sekedar wajah manis – tetapi juga keras kepala dan independen. Mungkin karena latar belakang Marc Webb sebagai sutradara video klip musik (percaya tidak percaya film ini adalah debut penyutradaraan layar lebarnya!) maka film ini dihiasi dengan banyak sekali musik yang memorable dan menyatu dengan scene film.
Ringkasnya, (500) Days of Summer adalah salah satu film Recommended dari gua. Kalau kalian belum menontonnya, tunggu apa lagi? Jangan mentang-mentang karena ini film festival kalian takut menontonnya (karena sebenarnya film ini tergolong ‘ringan’ kok!). Ini adalah satu dari sedikit film yang akan membuatmu terdiam merenung setelah menontonnya sambil tersenyum lebar.

2 komentar:

  1. cin(T)a ... itu film keren mnrt w,cm msh byk kekurangannya....dari awal sampai akhr kbnyakan set crta mrk berdua mulu(cina and annisa)...

    Tapi w salut sm idealis...mereka berdua....

    bikin referensi lg yg banyak...
    thx(brother1)

    BalasHapus
  2. hahaha thanks brother,,
    sering liat2 aja blog saya ya...

    BalasHapus